Ads Here

Monday, September 11, 2017

Pola-pola fikir dan keyakinan kita akan sesuatu terbentuk dari banyak faktor


Arus informasi yang terjadi secara deras dan masif ( dalam skala besar ) menyadarkan kita semua akan fanatisme buta yang mungkin selama ini kita yakini. Dimasa lalu barangkali kita mengalami suatu fase dimana kita meyakini sesuatu, tapi ternyata berkat informasi maupun pengetahuan yang akurat, pada fase berikutnya, kita bahkan mempertanyakan kebenaran maupun validitasnya. Informasi-informasi dan atau pengetahuan- pengetahuan yang saling melengkapi, dengan begitu, menggeser pengetahuan dan pendapat serta keyakinan sebelumnya pada posisi yang lebih baik, kredibel dan faktual. Pola-pola fikir dan keyakinan kita akan sesuatu terbentuk dari banyak faktor. Bisa karena faktor lingkungan, bisa juga karena faktor pendekatan atau methodologi yang digunakan, atau bisa pula semata-mata karena faktor kecenderungan. Untuk yang disebut terakhir, kita melihat adanya orang-orang tertentu yang jika berbicara apapun cenderung mengaiktannya pada aspek-aspek mistik. Usut punya usut, yang bersangkutan ternyata memanglah orang-orang yang suka / hobi / cenderung dengan dunia perdukunan. Sejumlah orang lagi cenderung mengaitkan sesuatu dengan kesukaan liberalnya. Buat mereka, liberalisasi adalah mehodologi yang tepat untuk memahami dan menerapkan pesan-pesan moral suatu aturan. Contoh terakhir ini misalnya kita bisa saksikan pada kelompok JIL ( Jaringan Islam Liberal ) yang sangat intens memperjuangkan liberalisasi pemikiran agama dalam berbagai hal. Sejumlah orang lagi cenderung berbicara mengenai sesuatu selalu dengan mengaitkan pentingnya "purifikasi / pemurnian" nilai-nilai agama dengan acapkali membid'ah-bid'ahkan banyak hal. Produk-produk pemikiran apapun yang notabene sesungguhnya hasil dari pemahaman manusia ( meskipun awalnya berasal dari Tuhan ), sesungguhnya sekarang sedang dihadapkan pada seleksi alam dari berbagai macam munculnya informasi dan pengetahuan yang semakin deras dan massif tadi. Lebih dari 14 abad yang lalu, Ali bin Abi Tholib, sahabat Nabi yang terkenal arif dan bijaksana memberi tahu: "Hikmah ( kebenaran, kearifan, kebijaksanaan dan semacamnya ) adalah barang yang hilang, yang dimanapun dia berada, haruslah kita temukan ! ". Maka masih diperlukankah fanatisme buta ( egoisme ) terhadap kebenaran ? Tentu saja jawaban yang ideal adalah: TIDAK ! Sekian.

No comments:

Post a Comment