"Interupsi ! , maaf Khothib..., khuthbah Jum'at Anda terlalu lama ! Di sini kami jama'ah keperluannya berbeda-beda !", ucap salah seorang jama'ah Jum'at yang juga seorang aktivis di sebuah kota kecil. Tak lama kemudian, Khothib pun mengakhiri khuthbahnya. Hadirin jama'ah Jum'at yang tersentak dengan kejadian tak lazim tersebut, meski kebingungan, namun tentu saja merasa terbela : ada jalan keluar untuk segera selesai dari khuthbah yang bertele-tele itu. Khuthbah yang begitu panjang memang mungkin saja menunjukkan kemampuan Khothib yang mumpuni dalam menjelaskan pesan-pesan mulia keagamaan, sekaligus semangat yang tak kenal lelah dari sang Khothib itu sendiri. Namun demikian, agaknya tak kalah penting pula untuk disadari bahwa kemampuan jama'ah untuk mendengar pesan-pesan mulia sang Khothib memiliki pula "durasi" yang terbatas. Bila kemudian "durasi" ini terlewati dan Khothib masih saja terlihat melanjutkan khutbahnya, maka terjadilah sunnatullooh / hukum alam ciptaan Allah : para jama'ah merasa jenuh dan tak sabar lagi, ingin segera keluar dari dalam masjid. Tanda-tanda jenuh dan tak betah bisa dalam bentuk yang bermacam-macam : hadirin tidak sedikit yang mengantuk, mengucapkan aamiin dengan keras dan sinis saat Khothib berkhuthbah dan berdo'a, ... ... ... atau, sebagian jama'ah membuat batuk-batuk buatan sebagai protes. Alih-alih khuthbah menjadi nasehat yang meresap, ia justru berbalik fungsi bak sebuah provokasi yang dapat menyulut kebencian dan kemarahan jama'ah. Seperti halnya para pedagang yang menjual barang dagangannya yang berbeda-beda dengan tempat dan waktu yang juga berbeda , para Da'i pun memiliki materi-materi, pangsa pasar dan durasi waktu tersendiri untuk mendakwahkan wejangan-wejangannya. Jika durasi ( lamanya waktu ) untuk Tabligh Akbar diterapkan untuk waktu khutbah Jum'at, maka akan terjadi ketimpangan antara kemauan Khotib di satu pihak dan kemauan mustami'iin ( para pendengar ) di pihak lain. Ibarat orang yang sedang dimabuk cinta : Kalau dengan lirikan mata saja sudah mengena, kenapa juga sih pakai basa-basi panjang lebar ?! He,he, he... jadi inget waktu muda Pak Kyai.... Punteeen ... ... ... Sekian,-
"Interupsi ! , maaf Khothib..., khuthbah Jum'at Anda terlalu lama ! Di sini kami jama'ah keperluannya berbeda-beda !", ucap salah seorang jama'ah Jum'at yang juga seorang aktivis di sebuah kota kecil. Tak lama kemudian, Khothib pun mengakhiri khuthbahnya. Hadirin jama'ah Jum'at yang tersentak dengan kejadian tak lazim tersebut, meski kebingungan, namun tentu saja merasa terbela : ada jalan keluar untuk segera selesai dari khuthbah yang bertele-tele itu. Khuthbah yang begitu panjang memang mungkin saja menunjukkan kemampuan Khothib yang mumpuni dalam menjelaskan pesan-pesan mulia keagamaan, sekaligus semangat yang tak kenal lelah dari sang Khothib itu sendiri. Namun demikian, agaknya tak kalah penting pula untuk disadari bahwa kemampuan jama'ah untuk mendengar pesan-pesan mulia sang Khothib memiliki pula "durasi" yang terbatas. Bila kemudian "durasi" ini terlewati dan Khothib masih saja terlihat melanjutkan khutbahnya, maka terjadilah sunnatullooh / hukum alam ciptaan Allah : para jama'ah merasa jenuh dan tak sabar lagi, ingin segera keluar dari dalam masjid. Tanda-tanda jenuh dan tak betah bisa dalam bentuk yang bermacam-macam : hadirin tidak sedikit yang mengantuk, mengucapkan aamiin dengan keras dan sinis saat Khothib berkhuthbah dan berdo'a, ... ... ... atau, sebagian jama'ah membuat batuk-batuk buatan sebagai protes. Alih-alih khuthbah menjadi nasehat yang meresap, ia justru berbalik fungsi bak sebuah provokasi yang dapat menyulut kebencian dan kemarahan jama'ah. Seperti halnya para pedagang yang menjual barang dagangannya yang berbeda-beda dengan tempat dan waktu yang juga berbeda , para Da'i pun memiliki materi-materi, pangsa pasar dan durasi waktu tersendiri untuk mendakwahkan wejangan-wejangannya. Jika durasi ( lamanya waktu ) untuk Tabligh Akbar diterapkan untuk waktu khutbah Jum'at, maka akan terjadi ketimpangan antara kemauan Khotib di satu pihak dan kemauan mustami'iin ( para pendengar ) di pihak lain. Ibarat orang yang sedang dimabuk cinta : Kalau dengan lirikan mata saja sudah mengena, kenapa juga sih pakai basa-basi panjang lebar ?! He,he, he... jadi inget waktu muda Pak Kyai.... Punteeen ... ... ... Sekian,-
No comments:
Post a Comment