Khusus dalam peristiwa melubangi perahu, sekedar sebagai contoh, Musa dan Khidr bisa dibilang dua insan yang berbeda. Musa berpandangan parsial ( sebagian ), sementara Khidr berpandangan komprehensif ( sudah mempertimbangkan berbagai sisinya ). Maka ketika Musa bertanya kepada Khidr tentang perahu yang dilubangi sehingga menjadi tenggelam--sesuatu yang menurut Musa mengherankan--, Khidr justru meyakini pelubangan itu sebagai suatu keharusan. Sebab kalau tidak, perahu milik orang miskin itu akan terus berjalan dan akan berakibat fatal: dirampas oleh Raja yang dholim ! Musa menyoroti kasus pelubangan itu semata-mata sebagai kejahatan, sementara Khidr menerawang jauh ke depan akan hakikat peristiwa yang akan terjadi. Yang kasat mata dari pelubangan perahu tersebut adalah kejahatan, namun kandungan maknanya adalah suatu penyelamatan terhadap pemilik perahu dari kejahatan sang Raja. Kompleksitas kehidupan kerapkali memunculkan dua fenomena : yang lahiriah dan yang batiniah; yang formil dan yang meteriil; yang kulit dan yang esensial. Seperti kaidah hukum: adhdhoohiru tadullu 'alalbaathini, idealnya yang terlahir seharusnya memang menunjukkan yang ada di batinnya. Ternyata rumusan ini baru berlaku hanya jika seluruh proses kehidupan ini berjalan dengan baik dan normal. Namun bila tidak, ( tentu saja karena sesuatu dan lain hal ), maka seseorang bisa saja "merahasiakan" / menyelamatkan maksud-maksud baiknya, lalu yang tampak kemudian adalah keburukan-keburukannya. Peristiwa-peristiwa serupa di atas meneguhkan keyakinan bahwa orang yang mengerti sejatinya kebenaran dari suatu peristiwa, hanyalah orang yang mengetahui duduk perkara yang sesunguhnya dari peristiwa tersebut. Buat mereka yang mengetahuinya secara sepotong-sepotong, kebenaran akan dianggap kejahatan dan kejahatan akan dianggap kebenaran. Walloohu a'lam.
Khusus dalam peristiwa melubangi perahu, sekedar sebagai contoh, Musa dan Khidr bisa dibilang dua insan yang berbeda. Musa berpandangan parsial ( sebagian ), sementara Khidr berpandangan komprehensif ( sudah mempertimbangkan berbagai sisinya ). Maka ketika Musa bertanya kepada Khidr tentang perahu yang dilubangi sehingga menjadi tenggelam--sesuatu yang menurut Musa mengherankan--, Khidr justru meyakini pelubangan itu sebagai suatu keharusan. Sebab kalau tidak, perahu milik orang miskin itu akan terus berjalan dan akan berakibat fatal: dirampas oleh Raja yang dholim ! Musa menyoroti kasus pelubangan itu semata-mata sebagai kejahatan, sementara Khidr menerawang jauh ke depan akan hakikat peristiwa yang akan terjadi. Yang kasat mata dari pelubangan perahu tersebut adalah kejahatan, namun kandungan maknanya adalah suatu penyelamatan terhadap pemilik perahu dari kejahatan sang Raja. Kompleksitas kehidupan kerapkali memunculkan dua fenomena : yang lahiriah dan yang batiniah; yang formil dan yang meteriil; yang kulit dan yang esensial. Seperti kaidah hukum: adhdhoohiru tadullu 'alalbaathini, idealnya yang terlahir seharusnya memang menunjukkan yang ada di batinnya. Ternyata rumusan ini baru berlaku hanya jika seluruh proses kehidupan ini berjalan dengan baik dan normal. Namun bila tidak, ( tentu saja karena sesuatu dan lain hal ), maka seseorang bisa saja "merahasiakan" / menyelamatkan maksud-maksud baiknya, lalu yang tampak kemudian adalah keburukan-keburukannya. Peristiwa-peristiwa serupa di atas meneguhkan keyakinan bahwa orang yang mengerti sejatinya kebenaran dari suatu peristiwa, hanyalah orang yang mengetahui duduk perkara yang sesunguhnya dari peristiwa tersebut. Buat mereka yang mengetahuinya secara sepotong-sepotong, kebenaran akan dianggap kejahatan dan kejahatan akan dianggap kebenaran. Walloohu a'lam.
No comments:
Post a Comment